Advertisement
Langgam Pos - Masalah stunting, kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak akibat kekurangan gizi kronis, ternyata tidak hanya melanda keluarga miskin. Fakta mengejutkan ini disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Hasto Wardoyo, dalam acara Ngopi Bersama Rekan Media yang berlangsung di Kantor BKKBN Pusat, Jakarta pada Jumat (9/8/2024).
Menurut dr. Hasto, stunting juga dapat terjadi di kalangan keluarga kaya. Meski keluarga-keluarga ini mungkin tidak menghadapi masalah kekurangan makanan, mereka masih dapat mengalami stunting akibat waktu yang terbatas dan kesibukan yang mengganggu perhatian mereka terhadap anak.
“Meskipun makanan tersedia dengan baik, anak-anak tidak akan berkembang optimal jika orang tua terlalu sibuk,” ujar dr. Hasto.
Keterbatasan waktu ini berdampak pada asupan gizi yang tidak optimal dan kurangnya stimulasi yang diperlukan untuk perkembangan otak anak.
Stunting sendiri didefinisikan sebagai kondisi di mana tinggi badan anak berada di bawah rata-rata untuk usia dan jenis kelamin mereka. Ini menunjukkan adanya kekurangan gizi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, mulai dari masa kehamilan hingga usia 2 hingga 5 tahun.
Stunting sendiri didefinisikan sebagai kondisi di mana tinggi badan anak berada di bawah rata-rata untuk usia dan jenis kelamin mereka. Ini menunjukkan adanya kekurangan gizi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, mulai dari masa kehamilan hingga usia 2 hingga 5 tahun.
Prof. Johanes C. Mose, dokter obgyn dari Kehamilan Sehat, menambahkan bahwa stunting adalah indikator malnutrisi kronis yang dapat memengaruhi perkembangan fisik dan kecerdasan anak.
Untuk mengatasi masalah ini, BKKBN mendukung inisiatif Presiden Joko Widodo yang memperkenankan ibu melahirkan untuk mengambil cuti hingga 6 bulan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).
Untuk mengatasi masalah ini, BKKBN mendukung inisiatif Presiden Joko Widodo yang memperkenankan ibu melahirkan untuk mengambil cuti hingga 6 bulan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).
“Kami berharap, dengan adanya cuti yang lebih panjang, orang tua dapat lebih fokus pada tumbuh kembang anak mereka, dan akhirnya, masalah stunting bisa lebih cepat teratasi,” ujar dr. Hasto.
Selain itu, BKKBN sedang melaksanakan pemutakhiran data Pendataan Keluarga (PK) dari 1 Agustus hingga 31 Agustus 2024. Pemutakhiran ini mencakup 15.738.235 keluarga di 14.337 desa/kelurahan, dan untuk pertama kalinya memasukkan variabel disabilitas. Variabel ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih inklusif mengenai keluarga yang memiliki anggota dengan disabilitas.
Melalui pemutakhiran data ini, BKKBN juga akan melibatkan Pengumpulan Data Early Child Development Index (ECDI), yang berfokus pada pengukuran pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak. "ECDI sangat relevan dengan stunting, karena ia memberikan gambaran jelas mengenai perkembangan fisik dan kecerdasan anak," jelas dr. Hasto.
Pemutakhiran data ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam merancang intervensi yang lebih tepat untuk mengatasi stunting. Data yang akurat mengenai tumbuh kembang anak akan memungkinkan perencanaan yang lebih efektif dan sasaran yang lebih tepat untuk mengurangi stunting.
Secara lebih luas, pemutakhiran data ini juga akan digunakan untuk menanggulangi angka kemiskinan ekstrem. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) telah memanfaatkan data PK sebagai basis untuk Pensasaran Percepatan Penurunan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). “Data PK menjadi tulang punggung untuk mengetahui kelompok masyarakat yang miskin sekali dan kaya sekali. Kami mendorong pemanfaatan data ini untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sasaran,” ungkap dr. Hasto.
Dengan langkah-langkah ini, BKKBN berupaya mengatasi stunting dari berbagai sisi, baik di kalangan keluarga miskin maupun kaya, serta mengurangi angka kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Selain itu, BKKBN sedang melaksanakan pemutakhiran data Pendataan Keluarga (PK) dari 1 Agustus hingga 31 Agustus 2024. Pemutakhiran ini mencakup 15.738.235 keluarga di 14.337 desa/kelurahan, dan untuk pertama kalinya memasukkan variabel disabilitas. Variabel ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih inklusif mengenai keluarga yang memiliki anggota dengan disabilitas.
Melalui pemutakhiran data ini, BKKBN juga akan melibatkan Pengumpulan Data Early Child Development Index (ECDI), yang berfokus pada pengukuran pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak. "ECDI sangat relevan dengan stunting, karena ia memberikan gambaran jelas mengenai perkembangan fisik dan kecerdasan anak," jelas dr. Hasto.
Pemutakhiran data ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam merancang intervensi yang lebih tepat untuk mengatasi stunting. Data yang akurat mengenai tumbuh kembang anak akan memungkinkan perencanaan yang lebih efektif dan sasaran yang lebih tepat untuk mengurangi stunting.
Secara lebih luas, pemutakhiran data ini juga akan digunakan untuk menanggulangi angka kemiskinan ekstrem. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) telah memanfaatkan data PK sebagai basis untuk Pensasaran Percepatan Penurunan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). “Data PK menjadi tulang punggung untuk mengetahui kelompok masyarakat yang miskin sekali dan kaya sekali. Kami mendorong pemanfaatan data ini untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sasaran,” ungkap dr. Hasto.
Dengan langkah-langkah ini, BKKBN berupaya mengatasi stunting dari berbagai sisi, baik di kalangan keluarga miskin maupun kaya, serta mengurangi angka kemiskinan ekstrem di Indonesia.
(*)