Iklan

Sunday, October 20, 2024, October 20, 2024 WIB
Culture

Tradisi Mesalaran di Desa Adat Padang Luwih: Simbol Kebersamaan dan Syukur

Baca Juga
Advertisement
Tradisi Mesalaran di Desa Adat Padang Luwih: Simbol Kebersamaan dan Syukur








Langgampos.com - Bali tidak hanya dikenal dengan keindahan alam dan destinasi wisatanya, tetapi juga dengan kekayaan budaya yang kental. Salah satu tradisi unik yang masih dipelihara oleh masyarakat Bali adalah Tradisi Mesalaran, atau yang juga dikenal sebagai Perang Tipat Bantal. Tradisi ini terus dijalankan secara turun-temurun oleh warga Desa Adat Padang Luwih, Badung, dan diadakan setiap tahun pada purnama sasih kapat. Mesalaran bukan hanya sekadar tradisi, melainkan sebuah wujud syukur dan permohonan untuk kesejahteraan serta keharmonisan masyarakat.

Mengenal Tradisi Mesalaran


Mesalaran adalah tradisi yang erat kaitannya dengan hasil pertanian. Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur atas panen yang melimpah dan dipersembahkan kepada Tuhan. Seperti yang diungkapkan dalam buku "Mesalaran (Metimpugan) di Desa Adat Padang Luwih Tradisi Agraris di Tengah Arus Alih Fungsi Lahan Pertanian" oleh I Gusti Ayu Ketut Artatik, tradisi ini menandakan penghormatan terhadap alam, yang memberikan kesuburan dan kehidupan bagi masyarakat agraris di Bali. Dalam pelaksanaannya, masyarakat akan berdoa dan membawa sesajen berupa tipat bantal, yang masing-masing melambangkan perempuan (tipat) dan laki-laki (bantal).

Tradisi ini biasanya dilakukan di Pura Desa Adat Padang Luwih. Pemilihan waktunya, yakni purnama sasih kapat, tidak sembarangan. Sasih kapat adalah bulan yang diyakini penuh berkah, di mana hujan mulai turun dan tanaman menjadi subur. Dalam kepercayaan Hindu Bali, hari ini juga dianggap sebagai momen penting pemujaan kepada Hyang Parama Iswara. Dengan demikian, tradisi Mesalaran tidak hanya sebagai simbol permohonan kesejahteraan, tetapi juga sebagai wujud rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala berkah yang telah diberikan.

Proses Pelaksanaan Mesalaran

Tradisi Mesalaran dimulai dengan sembahyang bersama di pura. Setelah berdoa, warga desa yang terdiri dari enam banjar, yaitu Banjar Tegal Jaya, Banjar Pendem, Banjar Celuk, Banjar Kwanji, Banjar Gaji, dan Banjar Jeroan, dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan lokasi banjar mereka. Kelompok ini akan melakukan perang tipat bantal, yakni saling lempar ketupat dan bantal yang terbuat dari beras ketan. Meskipun disebut "perang," kegiatan ini bukanlah sesuatu yang menimbulkan pertumpahan darah, melainkan sebuah simbol pertemuan antara purusa (laki-laki) dan predana (perempuan), yang melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.

Selama proses lempar-lemparan ini, warga tidak merasa marah atau dendam. Sebaliknya, mereka bersuka cita karena merasakan kebersamaan dan bersyukur atas berkah yang telah diterima. Tradisi ini juga dianggap sebagai salah satu cara mempererat tali persaudaraan dan keharmonisan antarwarga.

Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mesalaran


Tradisi Mesalaran mengandung berbagai nilai penting yang diajarkan oleh agama Hindu dan adat Bali. Salah satunya adalah nilai Sradha, yang berarti keyakinan yang mendalam. Dengan menjalankan tradisi ini, masyarakat diharapkan semakin meningkatkan sradha dan bhakti kepada Tuhan, sehingga dapat memperoleh keselamatan lahir dan batin.

Selain itu, ada pula nilai etika yang diajarkan melalui pelaksanaan tradisi ini. Masyarakat yang mengikuti tradisi Mesalaran harus mematuhi aturan adat dan tata krama, sehingga tercipta keharmonisan di lingkungan desa. Etika dan tata krama ini sangat dijunjung tinggi dalam tradisi ini, terutama saat perang tipat bantal dilakukan.

Tidak ketinggalan, nilai estetika juga terlihat dalam proses pembuatan sesajen yang digunakan selama upacara berlangsung. Sesajen tersebut dibuat dengan penuh simbolis dan filosofis, yang mencerminkan penghayatan masyarakat Bali terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Semua aspek ini menunjukkan bahwa tradisi Mesalaran memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar perang lempar ketupat.

Kesimpulan


Tradisi Mesalaran di Desa Adat Padang Luwih bukan hanya sebuah atraksi budaya, tetapi sebuah warisan leluhur yang memiliki nilai spiritual dan sosial yang mendalam. Dalam setiap pelaksanaannya, tradisi ini mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan, rasa syukur, serta menjaga hubungan harmonis dengan alam dan sesama. Bagi masyarakat Bali, tradisi ini adalah bagian dari identitas mereka, yang harus dijaga dan dilestarikan di tengah arus globalisasi yang semakin kuat. Jika Anda berkunjung ke Bali, jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan Tradisi Mesalaran yang sarat makna ini!


(*)
close