Iklan

Monday, December 9, 2024, December 09, 2024 WIB
Lifestyle

Pekerja di Jakarta Memilih Slow Living, Apa Itu Slow Living?

Baca Juga
Advertisement
Pekerja di Jakarta Memilih Slow Living, Apa Itu Slow Living?


Langgampos.com - Surabaya - Slow living bukanlah konsep baru. Jauh sebelum masyarakat modern terbentuk dengan gaya hidup kapitalis dan konsumtif, manusia sudah menjalani hidup dengan tempo lambat. Namun, kesibukan dunia modern membuat kita lupa bagaimana caranya menikmati hidup dengan santai.

Ketika rutinitas harian berubah drastis, banyak yang mulai mempertanyakan kembali arti kebahagiaan sejati. Fenomena seperti "great resignation," keengganan kembali ke kantor, atau bahkan pindah dari kota besar menjadi bukti banyak orang mulai menolak kehidupan cepat yang membuat mereka merasa tertekan.

Media sosial menunjukkan betapa populer konsep ini. Tagar #slowliving di Instagram mencatat lebih dari 5,5 juta unggahan, sementara di TikTok, jumlah tayangan mencapai 947,1 juta. Konten yang muncul sangat beragam, mulai dari makanan yang ditata rapi, perjalanan kereta, hingga potret keluarga. Semua ini menunjukkan bahwa slow living berakar pada hal-hal sederhana yang bermakna bagi individu.

Apa Itu Slow Living?

Slow living adalah filosofi gaya hidup yang menekankan kesadaran, keseimbangan, dan menikmati momen. Konsep ini lahir dari gerakan Slow Movement yang dimulai di Italia pada tahun 1980-an oleh Carlo Petrini dan aktivis lainnya. Gerakan ini menentang pembukaan restoran cepat saji di Piazza di Spagna, Roma, dan melahirkan inisiatif seperti Slow Food, Cittaslow, hingga Slow Travel.

Inti dari slow living adalah menghargai momen sederhana, seperti menghabiskan waktu dengan orang tercinta, mengejar hobi, atau menikmati alam. Tidak ada formula khusus untuk menerapkan gaya hidup ini. Setiap orang dapat menemukan caranya sendiri untuk menciptakan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup.

Perbedaan Slow Living dan Gaya Hidup Cepat

Gaya hidup lambat memiliki perbedaan mendasar dibandingkan gaya hidup cepat:

  • Tempo Hidup: Slow living mengutamakan ritme hidup yang tenang, sedangkan gaya hidup cepat sering diwarnai dengan urgensi dan tekanan produktivitas.
  • Kesadaran Penuh: Slow living menekankan mindfulness, sementara gaya hidup cepat cenderung membuat orang terputus dari momen sekarang.
  • Konsumsi: Slow living memprioritaskan kualitas daripada kuantitas, sedangkan gaya hidup cepat mendorong konsumerisme yang berlebihan.
  • Koneksi: Slow living mengutamakan hubungan dengan diri sendiri, keluarga, dan alam, berlawanan dengan isolasi yang sering muncul dalam gaya hidup cepat.

Manfaat Slow Living

Mengadopsi slow living membawa berbagai manfaat, di antaranya:
  • Mengurangi Stres: Ritme hidup yang lebih lambat membantu menciptakan ketenangan dan mengurangi kecemasan.
  • Meningkatkan Kesehatan Mental: Kesadaran dan perawatan diri dapat meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup.
  • Kesehatan Fisik yang Lebih Baik: Gaya hidup ini mendorong kebiasaan sehat seperti olahraga rutin dan pola makan seimbang.
  • Hubungan Lebih Kuat: Koneksi yang terjalin melalui slow living memperkuat hubungan sosial dan rasa kebersamaan.
  • Meningkatkan Kreativitas: Dengan lebih banyak ruang untuk berpikir, orang dapat mengeksplorasi ide-ide baru dan menyalurkan bakat kreatif.
Menghapus Miskonsepsi tentang Slow Living

Banyak kesalahpahaman tentang slow living, seperti anggapan bahwa ini hanya untuk orang malas, tinggal di pedesaan, atau hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kaya. Faktanya, slow living adalah tentang menemukan keseimbangan hidup yang mendukung kesejahteraan, tanpa memandang lokasi atau status ekonomi.

Slow living bukan tentang meninggalkan teknologi atau produktivitas, melainkan menggunakannya secara sadar dan bijak. Dengan langkah kecil seperti mengurangi waktu layar atau meluangkan waktu untuk bersyukur, setiap orang dapat memulai perjalanan menuju kehidupan yang lebih bermakna.

(*)
close