Advertisement
Langgampos.com - Cinta adalah anugerah yang Allah tanamkan dalam hati manusia, yang jika dimaknai dengan benar, mampu menjadi jalan menuju keridhaan-Nya. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Nawadhirul Aik fi Ma'rifatin Naik menjelaskan bahwa cinta berasal dari bisikan sukma, kemuliaan budi, seruan batin, keselarasan hasrat, perpaduan ruh, percampuran jiwa, ketulusan hati, dan perkenalan batin. Cinta sejati tumbuh dari sifat-sifat mulia seperti kelembutan, kebersihan hati, dan kelurusan akhlak, yang pada hakikatnya bersumber dari langit.
Para ulama ahli kalam sepakat bahwa cinta memiliki hubungan erat dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Hati adalah tentara yang dimobilisasi.” Cinta tidak muncul secara kebetulan, tetapi merupakan perpaduan jiwa dengan jiwa, seperti air yang bercampur tanpa dapat dipisahkan. Bahkan, cinta lebih halus daripada air sehingga ia tidak terhapus oleh perjalanan waktu maupun perubahan zaman.
Asal Mula Cinta
Pertanyaan mengenai asal mula cinta telah menjadi renungan para ulama dan filsuf. Apakah cinta berasal dari pandangan, pendengaran, atau kehendak? Ataukah ia muncul secara tiba-tiba tanpa paksaan? Cinta juga sering dikaitkan dengan kehendak jiwa yang sadar, bukan hanya sekadar respons fisik. Dalam pandangan Islam, cinta sejati adalah perpaduan antara jiwa yang luhur dan akhlak yang mulia.
Pertanyaan mengenai asal mula cinta telah menjadi renungan para ulama dan filsuf. Apakah cinta berasal dari pandangan, pendengaran, atau kehendak? Ataukah ia muncul secara tiba-tiba tanpa paksaan? Cinta juga sering dikaitkan dengan kehendak jiwa yang sadar, bukan hanya sekadar respons fisik. Dalam pandangan Islam, cinta sejati adalah perpaduan antara jiwa yang luhur dan akhlak yang mulia.
Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pemahaman bahwa orang yang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya. Dalam syair klasik disebutkan:
Tanda-tanda cinta sejati, sebagaimana pembawa minyak wangi, tidak bisa disembunyikan karena baunya akan semerbak ke mana pun ia pergi.
Cinta dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an menyebutkan kata cinta dalam berbagai konteks. Salah satunya adalah ayat yang menegaskan hubungan antara pasangan suami istri:
“Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Dalam ayat ini, kata mawaddah berarti cinta atau keintiman, sedangkan rahmah bermakna kasih sayang. Allah mengajarkan bahwa cinta yang tulus antara pasangan harus disertai dengan rasa kasih sayang yang melahirkan kedamaian.
Namun, Al-Qur'an juga mengingatkan agar cinta tidak menjadi kecenderungan yang berlebihan, seperti dalam QS. An-Nisa: 129:
“Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).”
Ayat ini mengajarkan keseimbangan dalam mencintai, sehingga cinta tidak membawa kepada kemaksiatan atau melalaikan kewajiban kepada Allah.
Pelajaran dari Kisah Nabi Yusuf
Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dalam QS. Yusuf juga menjadi pelajaran berharga tentang cinta. Dalam ayat 30, disebutkan bagaimana cinta mendalam seorang wanita kepada Yusuf:
“Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam.” (QS. Yusuf: 30)
Namun, Nabi Yusuf menunjukkan bahwa cinta kepada Allah harus selalu lebih utama. Dalam ayat 33, beliau berdoa:
“Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (QS. Yusuf: 33)
Orang yang dilanda cinta, meskipun berpangkat raja, tetap tunduk kepada yang dicintainya. Janganlah tertipu oleh cinta, karena cinta memiliki tanda-tanda yang jelas, seperti pemberian hadiah kepada sang kekasih.
Tanda-tanda cinta sejati, sebagaimana pembawa minyak wangi, tidak bisa disembunyikan karena baunya akan semerbak ke mana pun ia pergi.
Cinta dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an menyebutkan kata cinta dalam berbagai konteks. Salah satunya adalah ayat yang menegaskan hubungan antara pasangan suami istri:
“Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Dalam ayat ini, kata mawaddah berarti cinta atau keintiman, sedangkan rahmah bermakna kasih sayang. Allah mengajarkan bahwa cinta yang tulus antara pasangan harus disertai dengan rasa kasih sayang yang melahirkan kedamaian.
Namun, Al-Qur'an juga mengingatkan agar cinta tidak menjadi kecenderungan yang berlebihan, seperti dalam QS. An-Nisa: 129:
“Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).”
Ayat ini mengajarkan keseimbangan dalam mencintai, sehingga cinta tidak membawa kepada kemaksiatan atau melalaikan kewajiban kepada Allah.
Pelajaran dari Kisah Nabi Yusuf
Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dalam QS. Yusuf juga menjadi pelajaran berharga tentang cinta. Dalam ayat 30, disebutkan bagaimana cinta mendalam seorang wanita kepada Yusuf:
“Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam.” (QS. Yusuf: 30)
Namun, Nabi Yusuf menunjukkan bahwa cinta kepada Allah harus selalu lebih utama. Dalam ayat 33, beliau berdoa:
“Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (QS. Yusuf: 33)
Ini menunjukkan bahwa cinta sejati tidak pernah bertentangan dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah.
Cinta Rasulullah kepada Khadijah
Cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri beliau, Khadijah, adalah contoh cinta yang penuh ketulusan dan kesetiaan. Beliau bersabda:
“Sungguh, aku telah dipenuhi dengan cinta kepadanya.”
Khadijah bukan hanya istri, tetapi juga sahabat sejati yang mendukung dakwah Rasulullah dalam setiap keadaan. Kisah cinta mereka menjadi teladan abadi tentang makna cinta yang didasarkan pada iman dan kasih sayang.
Makna Cinta dalam Kehidupan
Cinta dalam Islam tidak terbatas pada hubungan manusia, tetapi juga mencakup cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya. Cinta kepada Allah adalah puncak dari segala cinta, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman lebih besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Cinta kepada Allah diwujudkan melalui ketaatan, dzikir, dan menjauhi larangan-Nya. Begitu pula cinta kepada Rasulullah diekspresikan dengan mengikuti sunnah beliau dan mencintai sesama umat manusia.
Kesimpulan
Cinta adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam hati manusia sebagai anugerah yang harus dijaga dan diarahkan sesuai dengan syariat. Cinta sejati tidak hanya mendekatkan manusia kepada sesamanya, tetapi juga membawa mereka lebih dekat kepada Sang Pencipta.
Cinta Rasulullah kepada Khadijah
Cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri beliau, Khadijah, adalah contoh cinta yang penuh ketulusan dan kesetiaan. Beliau bersabda:
“Sungguh, aku telah dipenuhi dengan cinta kepadanya.”
Khadijah bukan hanya istri, tetapi juga sahabat sejati yang mendukung dakwah Rasulullah dalam setiap keadaan. Kisah cinta mereka menjadi teladan abadi tentang makna cinta yang didasarkan pada iman dan kasih sayang.
Makna Cinta dalam Kehidupan
Cinta dalam Islam tidak terbatas pada hubungan manusia, tetapi juga mencakup cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya. Cinta kepada Allah adalah puncak dari segala cinta, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman lebih besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Cinta kepada Allah diwujudkan melalui ketaatan, dzikir, dan menjauhi larangan-Nya. Begitu pula cinta kepada Rasulullah diekspresikan dengan mengikuti sunnah beliau dan mencintai sesama umat manusia.
Kesimpulan
Cinta adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam hati manusia sebagai anugerah yang harus dijaga dan diarahkan sesuai dengan syariat. Cinta sejati tidak hanya mendekatkan manusia kepada sesamanya, tetapi juga membawa mereka lebih dekat kepada Sang Pencipta.
Dengan memaknai cinta sebagai ibadah, seorang muslim dapat menjadikan cinta sebagai sarana untuk meraih keridhaan Allah dan kebahagiaan dunia serta akhirat.
(*)