LANGGAMPOS.COM - Immanuel Ebenezer selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan, menyoroti pentingnya peran perempuan dalam menghadapi era disrupsi teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Dalam Kongres Pejuang Perempuan Indonesia yang digelar di Jakarta, Jumat (25/4), Immanuel menegaskan bahwa transformasi digital harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital dan penguatan keterampilan, terutama di kalangan pekerja perempuan.
"Sebanyak 83 juta pekerjaan akan hilang akibat disrupsi AI, sementara hanya 69 juta pekerjaan baru yang akan tercipta. Jika kita tidak mempersiapkan perempuan Indonesia, kesenjangan akan semakin dalam," kata Immanuel dalam keterangan yang dikutip dari CNN Indonesia, Senin (28/4).
Ia menjelaskan bahwa sektor-sektor yang terancam otomatisasi harus segera beradaptasi melalui skema pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling).
Hal ini dinilai penting, terutama untuk kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
Selain itu, Immanuel menekankan perlunya kebijakan afirmatif yang inklusif dan responsif terhadap perkembangan teknologi.
Menurutnya, pemerintah tidak cukup hanya membuat regulasi, tetapi juga harus mendorong pembentukan lembaga pengawasan khusus di bidang teknologi dan ketenagakerjaan.
"Pemerintah harus memastikan tidak ada pihak yang tertinggal dalam gelombang perubahan ini," ujarnya.
Dalam forum tersebut, Immanuel juga mendorong perempuan untuk aktif mengembangkan usaha di bidang digital dan industri kreatif, sebagai bagian dari upaya memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing.
Agenda ini juga menekankan pentingnya kesetaraan gender, penguasaan sains dan teknologi, serta pemberdayaan perempuan di tengah perubahan zaman.
Menghadapi disrupsi AI tanpa persiapan akan memperparah ketimpangan yang sudah ada. Mendorong perempuan untuk aktif dalam ekonomi digital dan teknologi bukan hanya soal keadilan sosial, tapi juga kebutuhan strategis untuk menjaga daya saing nasional di era baru ini.
Selanjutnya, langkah konkret pemerintah di tingkat pelaksanaan akan menjadi penentu utama mengenai apakah komitmen ini benar-benar diwujudkan ke kebijakan nyata, atau berhenti pada atau justru berhenti pada wejangan saja.
(*)